Dua hari setelah Muhammad Mursi digulingkan militer Mesir, Mahmoud Abbas bertepuk tangan. Orang yang secara gegabah dianggap Presiden Palestina—Otoritas Palestina sih sebenarnya—itu menyanjung Abdul Fattah al-Sisi.
Abbas lama yakin kalau Ikhwan adalah sekutu ideologis Hamas, saingan Abbas sepanjang zaman. Sudah lama pula Abbas memendam hasrat besar yang tak pernah kesampaian: rekonsiliasi damai dengan Israel.
Gara-garanya, seperti desa Galia di serial Asterix, Hamas menjadi duri dalam daging untuk secara totalitas mengklaimnya sebagai presiden. Dan jika Gaza adalah Galia, maka Tepi Barat adalah negara boneka Israel, dengan para pemimpinnya yang diurai dengan tali dari atas panggung.
Jatuhnya pemerintah Mursi dapat memperkuat peluang Abbas dalam menyenggol Hamas menuju rekonsiliasi lama yang tertunda dan perjanjian pembagian kekuasaan.
Menurut Abbas, dengan intervensi penggulingan Mursi, tentara Mesir telah mencegah “pergeseran Mesir ke arah nasib yang tidak diketahui”—sebuah asumsi yang juga gegabah.
Yasser Abed Rabbo, seorang pejabat tinggi di Organisasi Pembebasan Palestina dipimpin oleh Abbas, pada hari penggulingan Mursi mengatakan: “Ini adalah hari bersejarah bagi Mesir, dan kita belajar dari Mesir. Hamas harus mencatat, apa yang populer, akan dapat dicapai!”
Palestina terbelah oleh politik dan budaya cermin dari Mesir. Kemenangan Hamas dalam pemilihan parlemen 2006 berakhir sama: diboikot internasional yang dipelopori Israel, blok antara Gaza oleh Hamas, dan Tepi Barat oleh Abbas.
Kunjungan Abbas ke Kairo saat ini bukan sekadar basa-basi. Ibarat kembang api, kunjungan itu membuka keran, siapa saja penghambat kemerdekaan Palestina dan kedigjayaan Israel selama ini. []
0 komentar: